Pengaruh
animisme dan ajaran Hindu Budha yang telah masuk ke Nusantara jauh sebelum
Islam datang ke negeri ini, masih dapat kita rasakan sampai sekarang. Bahkan,
banyak tradisi yang berbau Islam yang kita rayakan saat ini merupakan hasil
dari pencampuran antara budaya animisme, Hindu dan Budha yang telah diwariskan
secara turun temurun dan berubah coraknya menjadi keislaman seiring dengan
berkembangnya Islam di negeri dengan mayoritas penduduk Muslim ini.
Budaya
yang telah membekas ini terkadang sulit dibedakan oleh mayoritas penduduk di
Indonesia. Banyak yang masih menganggap budaya sebagai sunnah, dan sunnah hanya
sebagai budaya Timur Tengah. Contohnya adalah tradisi perayaan Maulid Nabi,
banyak yang menganggapnya sebagai sunnah. Sementara berjanggut dianggap hanya
merupakan budaya masyarakat Timur Tengah. Padahal, kalau kita kembali merujuk
kepada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, didapati tidak ada satu pun
perintah merayakan hari lahir Nabi, sementara akan didapati perintah memelihara
janggut.
Dari Ibnu
Umar radhiallāhu’anhuma, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) janggut.” (HR. Muslim no.
623).
Ini
menunjukkan percampuran budaya yang terjadi di masyarakat telah menyebabkan
sulitnya bagi kita yang masih awam untuk membedakan mana dari kebiasaan
tersebut yang merupakan tradisi, dan mana yang merupakan perintah yang
disyari’atkan.
Contoh
lain adalah tradisi tahlil dan kenduri arwah yang sering kita lakukan setiap
ada kematian anggota keluarga, sebenarnya merupakan perintah di dalam kitab
umat Hindu yang kemudian diwariskan secara turun-temurun hingga datangnya Islam
menjadikan tradisi umat Hindu ini mengalami Islamisasi sehingga umat Islam
menjadikannya ajang untuk mendoakan mayat dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an
untuk keluarga yang telah meninggal.
Dalam
kitab Samawedha Samhita, kitab ajaran umat Hindu, buku satu, bagian satu, halaman
20 berbunyi: “Purwacika prataka prataka pramoredya rsi barawajah medantitisudi
purmurti tayurwantara mawaeda dewana agni candra gayatri ayatnya agna ayahi
withaigrano hamyaditahi liltastasi barnesi agne.”
Dan
artinya adalah: “Lakukanlah pengorbanan pada orangtuamu dan lakukanlah kirim
do’a pada orangtuamu di hari pertama, ke tiga, ke tujuh, empat puluh, seratus,
mendak pisan, mendak pindho, nyewu (1000 harinya).”
Hal
tersebut menandakan kentalnya budaya dari keyakinan yang telah ada sebelum
Islam memasuki nusantara pada masyarakat Indonesia. Adalah sebuah hal yang
wajar jika hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan di masyarakat, karena sangat
besar kemungkinan orang-orang hanya mengetahui bahwa hal tersebut hanya
merupakan tradisi turun temurun, atau bahkan mengiranya sebagai sunnah karena
terdapat banyak doa yang baik-baik yang ditujukan untuk mayat pada acara
tersebut, dan tidak merasa bahwa hal tersebut merupakan ajaran dari agama lain.
Di daerah
lain seperti Jawa, budaya animisme masih terlihat sangat kental. Di beberapa
wilayah di sana masih sering diadakan acara memberikan sesajen ke laut dalam
rangka tolak bala, dan ini jelas bukan sesuatu yang disyari’atkan, melainkan
budaya animisme yang diteruskan hingga sekarang secara turun-temurun.
Percampuran
budaya ini sangat terasa dan begitu melekat pada masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat penganut agama Islam. Setidaknya perlu pemahaman kepada
masyarakat agar dapat membedakan mana yang merupakan syari’at, dan mana yang
merupakan tradisi. Karena jika masyarakat tidak dapat membedakan dua hal ini,
kemungkinan besar akan terjadi permasalahan-permasalahan sosial keagamaan pada
kelompok masyarakat tersebut.
Banyak
budaya animisme yang masih dipertahankan mengandung unsur kesyirikan dan tidak
dapat dilestarikan. Hal ini yang membuat dilema bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki kecintaan yang tinggi terhadap tradisi dan budaya, masyarakat
Indonesia dituntut untuk melestarikan kebudayaan itu sendiri. Namun disisi
lain, budaya yang melanggar norma agama juga terasa begitu meresahkan, karena
dapat melemahkan pondasi keimanan para masyarakat, khususnya generasi muda.
Sebagai
warga negara yang baik, kita wajib mempertahankan budaya atau tradisi yang
tidak menyalahi norma lain seperti norma agama. Namun, jika didapati suatu
tradisi atau budaya yang berseberangan dengan norma-norma yang terdapat di
masyarakat, termasuk di dalamnya norma agama, maka kita wajib meninggalkan
tradisi atau budaya tersebut.
Dibutuhkan
banyak sumber daya manusia yang berjiwa intelek untuk meyakinkan masyarakat
mengenai masalah ini, agar masyarakat menjadi cerdas tentang agamanya sendiri,
dan tidak salah dalam mengamalkan ajaran dari nenek moyang yang mengandung
kesyirikan dan merusak akidah tauhid di masyarakat.
Namun,
tidak semua budaya harus dihilangkan, justru banyak dari budaya bangsa
Indonesia yang harus dilestarikan, seperti budaya masyarakat Indonesia yang
dikenal santun dan ramah, maka hal ini harus terus melekat pada masyarakat
Indonesia seluruhnya. Banyak juga budaya yang berfungsi mempererat persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia seperti tradisi berkumpul bersama untuk gotong
royong dan berolahraga serta melakukan kegiatan-kegiatan positif yang sering
dilihat di desa-desa, maka hal ini sangat baik jika dilestarikan.
Setiap
tradisi dan budaya yang ada di Indonesia harus menjiwai kepribadian setiap
warga negara Indonesia itu sendiri, maka setiap budaya harus sesuai dengan
norma-norma yang dijadikan acuan oleh Bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya
norma agama, norma sosial, norma budaya, serta norma-norma lain yang berlaku
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang terkenal dengan
penjunjungan terhadap norma-normanya yang sangat kuat.
Setiap
pribadi kita memiliki kewajiban untuk memajukan bangsa ini dalam segala aspek,
termasuk masalah sosial budaya yang ada di masyarakat, agar bangsa ini dapat
maju dengan ciri khasnya sendiri, yaitu dengan mengikuti aturan dan menjauhi
melanggar aturan atau norma-norma bangsa ini sendiri.